Apa Kabar, Cinta?
PART 3
Pagi mengembun, seakan ada seribu
batu bergayut di mata Venska, seribu panser memenuhi isi kepalanya.
Berat syekallee… saudara-saudara.
Tapi hari ini opspek, ups!! Dengan bergegas Venska bangun.
“Ah, nggak ush mandi, sebodo, paling
juga kagak ada yang tahu, mandi nggak mandi aku tetap maniiiissss kaan?
Hehehe…, yang penting sekarang mandi cologne, naaah… wanginya kecium sampai
situ kagak?”
Venska sibuk memelintir rambutnya
menjadi sepuluh bagian. Dasar panitia opspek gila! Mana pitanya harus sepuluh
warna lagi! Untung ada keponakan Mbak Tari kemarin ke sini dan koleksi pitanya,
ambooiiii… Walah, sudah hampir jam setengah delapan. Ini sudah pasti telat!!
Dengan tergesa Venska mangayuh sepeda
balapnya, dan parkir sekenanya. Alamak! Sudah ada kakak senior!!
“Yaah… kamu hari pertama sudah bikin
masalah. Kenapa terambat!!!” bentaknya sok galak. Sebel.
“Kesiangan!” Venska balas membentak
“Lho, ikut mbentak?!” matanya
membulat, pupilnya membesar dan berada tepat di tengah, mulutnya yang berkumis mengerucut.
Kedua tangannya berkacak pinggang. Venska tersenyum semanis mungkin. Ia
mengerlingkan mata kanannya. Raut wajah tegang di depannya mengendur, perlahan
ia menurunkan kedua tangannya dari pinggang, lalu mengambil bloknot. Namun ada
kala pria tak berdaya tekuk lutut di sudut kerling wanitaaa…, senandung Venska
dalam hati.
“Namanu siapa?”
nada tanyanya melembut.
“Vena…” Venska tidak bohong. Daddy kadang
memanggilnya begitu.
“Alamat kost?”
Venska menyebutkan sebuah alamat,
bukan alamat kostnya, entah alamat siapa. Buaya darat satu
ini perlu dikerjai, huh!
“Ya sudah sana… Teman-temanmu sudah ada di bukit Rejo
Winangun. Kalau ada yang tanya kenapa terlambat, sebut namaku, Gandung. Oke?!”
matanya seakan ingin melahap Venska. Dengan tersenyum Venska lalu segera
berlari menjauh. Terus terang ia takut tangan Gandung iseng menowel pipinya
yang selalu memerah.
“Hayooooo!!!! Sekarang kita sudah
berada di makam keramat Rejo Winangun. Kalian semuaaaaaa, harus menghormati
Mbah Rejo, maka masuki area makam tidak boleh ada yang berdiri, semuanya harus
jalan dengan jongkok!! Mengerti???” Terdengar teriakan menggelegar.
Seperti kerbau dicocok hidungnya,
teman-teman Venska sesama mahasiswa baru seren-tak melipat lututnya lalu
berjalan jongkok ala penghuni keraton yang akan menghadap rajanya. Semua
berteriak “kula nuwun Mbah Rejo…, kula bade sowan….”
Eh, tidak semuanya melakukan…, Venska
melihat seorang gadis manis berkulit kecoklat-an dengan kacamata bertengger di
hidungnya, dan jilbab putih di kepalanya berjalan memasuki area kompleks makam
dengan berjalan tegak. Mulutnya tidak mengumandangkan “password” Mbah Rejo.
Venska reflek mengikutinya untuk tetap berjalan tegak. Whupss…, masalah baru
Venska!
Segera ketika ketahuan Venska dan
gadis berjilbab putih itu tidak taat pada peraturan, beberapa kakak senior
segera menggelandang kedua gadis itu ke suatu tempat.
“Kenapa tidak
mau berjalan jongkok dan memberi hormat pada Mbah Rejo?” Nada lembut tapi tegas
keluar dari mulut laki-laki pembaca ‘Soe Hok Gie’. Huh! Rupanya ia panitia
juga!
“Yaa…, iseng
aja,” jawab Venska sekenanya.
Mulut Prastomo tersenyum, sedikit.
“Kalau kamu?” Prastomo beralih pada
gadis berjilbab putih, yang sedari tadi berdiri dengan menundukkan kepala.
“Islam mengajarkan untuk tidak
merendahkan diri pada apapun atau siapa pun selain Allah, itu alasan saya.”
Jawabnya singkat.
Senyum Prastomo melebar.
“Ok. Masing-masing dapat hukuman.
Kamu…,” telunjuknya menunjuk wajah Venska. Mata Prastomo bertemu dengan matanya
sedikit. “Buka Alquran surat Al-Hadid ayat 20. Bikin esai tentang surat itu!”
Kening Venska berkerut. Alquran,
alamaak!!
“Kalau kamu, Al-Hadid ayat 21…, besok
dikumpulkan di kantor Senat, jam delapan pagi. Tidak boleh telat!” Prastomo
ngeloyor pergi sambil menggumam, gumamannya mampir di telinga Venska. “Kadang-kadang
kita memang sulit mengetahui alasan mengapa kita melakukan sesuatu….”
Venska memandangi punggung Prastomo
dengan tatapan keheranan yang sangat. Venska belum pernah bertemu makhluk
sefilosofis ini. Ada getaran lain menelusup di hatinya. Alamaak…, jangan-jangan
aku….
Gadis berjilbab itu menjawil
lengannya.
“Namaku Sofia…, namamu?”
“Venska…, eh… kamu bias bantu aku
kan? Aku tidak bisa baca Alquran, boro-boro nyari surat… surat apaan tadi?”
“Al-Hadid…!!” sambung Sofia cepat.
“Ho-oh… surat itu, gue sih tahunya
surat kabar! Bantu yah?”
Gadis berjilbab itu mengangguk,
wajahnya tetap serius. Mereka janjian untuk bertemu, di kost.
Ketika Venska kembali ke
tengah-tengah opspek ia melihat seseorang sedang dihukum push-up. Uh, kejam.
Tiba-tiba ia iseng.
“Ayooo… jangan putus asa, itung-itung
olahraga, and one, and two, and three, and four, and up, and down…., em…pang…
en…dang…, em…pang…en…dang….” Seru Venska keras-keras sambil member aba-aba bak
pelatih bi-el. Kontan seluruh peserta opspek dan panitia ngakak.
Seorang panitia melotot, sampai
matanya yang sipit tak lagi sipit. Alamaak… kena hokum lagi deh. Venska
menyadari ada sepasang mata Pras mengawasi dari kejauhan.
***
Pagi menyeret malam, pergi dari
singgasananya, sinar matahari menelusup ke dalam kamarku dari genting kaca, di
antara cahaya dan butiran-butiran debu yang bagiku seakan-akan lengkung
bianglala, berwarna-warni.
Waktu kecil dulu aku selalu bermimpi
aka nada seseorang yang sangat baik meluncur dari bianglala itu lalu membawaku
pergi ke negeri impian, tempat tidak ada kesusahan.
Venska melirik Sofia yang semalam
tidur di kamarnya. Ia masih asyik mencoret-coret sambil duduk di meja belajar.
Venska tahu ia sudah bangun sejak pukul tiga pagi, diskusi mereka tentang surat
Al-Hadid cukup seru. Venska tidak mudah untuk ditaklukan. Baginya hidup ini
adalah sesuatu yang perlu dinikmati. Kata daddy hidup hanya sekali, untuk apa
dibuat susah. Itu berarti tidak akan ada kehidupan yang lain bukan? Tapi kata
Sofia justru sebaliknya. Ada kehidupan yang lain setelah kehidupan ini,
kehidupan yang kekal. Tapi Venska tetap ngotot untuk menulis esainya apa
adanya. Sofia cuma tersenyum membacanya.
“Aku harus pergi
pagi-pagi Vens, ada kajian di Pabrik Inti Rayon.” Kata Sofia pelan.
“Kajian di
Pabrik?”
“Iya…, mereka kan perlu juga tahu
bahwa tidak selamanya kesulitan membelit mereka. Jika mereka sabar dalam Islam,
mereka akan mendapat gantinya kelak di surga…,” tutur Sofia datar. Venska
nyengir. Yaaa…itu lagi deh. Eh… tunggu-tunggu ada yang mau kutanyakan sama
Sofi.
“Eh, Fi… kalau menurut kamu lembaga
perkawinan itu penjajahan atau bukan?”
“Penjajahan? Perkawinan dalam sudut
pandang Islam merupakan amanah dari Allah, berfungsi sebagai pilar-pilar
masyarakat dan penerus keturunan… jadi…” Sofi mau meneruskan.
“I see… I see…, sekarang berangkat
ngisi kajiannya?” Venska memutuskan tutur kata Sofi yang panjang lebar. Bete!
Jemari Venska meraih sikat gigi dan
memberinya pasta. Sofia mengangguk. Ia sadar, temannya yang satu ini tidak bisa
dikuliahi.
“Hati-hati Fi… kalau kamu salah
ngomong, kelak kamu nyesel lho… jangan-jangan kamu ngasih candu sama mereka….
Seperti kata Nietche kan, agama itu candu… hiiiii, bikin mereka yang tidak
bahagia di dunia merasa tenang karena akan ada dunia lain yang lebih kekal,
akhirat. Tuuuh…. Candu kan?!”
“Thank’s, I’ll watch my step…, udah
yaaa… Assalamu’alaikum….” Sofia beranjak dari duduknya. Venska menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Lugu banget jawaban Sofia. Si Sofia belagak bego,
atau pilon beneran? Ah, bodo amat.
“Ups… sorry,” ketika tanpa sengaja
Venska menabrak Romy yang ternyata berdiri di depan kamar.
“Siapa temanmu?
Ngapain dia nginap di sini? Sudah lama temenan sama dia?” romy bertanya
bertubi-tubi. Kening Venska berkerut. Ngapain ni anak, ngotot bener nanyanya?
“Temen kuliah,
emang kenapa?”
“Eh, nggak
pa-pa…, kapan-kapan aku bobok di kamarmu juga ya?”
Kening Venska
kembali berkerut.
Romy mengulurkan
tangannya menepuk pipi Venska lalu ngeloyor pergi. Digaruknya kepalanya yang
tidak gatal. Sakit kali, ni anak!
***
Jangan lupa komentarnya ya…^_^ !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar